Aku Menemukan Diriku Berkali-kali di Tempat Sampah
Oleh: Rafikbojes
*puisi ini diikutsertakan lomba fesasuns2020 yang ternyata gagal, memang sampah, ekspektasi terlalu tinggi: batin saya pada puisi ringkih saya.
1.
(Sesuatu telah diusapkan ke pelipisnya. Matanya masih memejam
setengah kantuk, tapi ia membuka suratnya)
Hei pendosa! fajar telah berdenting,
kawat tiang listrik telah mengusir burung-burung
dan bayang telah memilihmu. Bangun & bersihkanlah dirimu itu!
-
Ada sesuatu yang menjerit di hatiku, termangu
di sisir sungai ini, separuh terdiam. Seakan-akan pesan surat itu
adalah gema malaikat. Tapi, pada siapa aku bersihkan noda
dalam jiwa yang melekat, ke arah jalan mana lagi kuteroka?
-
2.
Pada kesedihan yang berbanjar, aku tergeletak
setelah ribuan langkah jadi keterjagaan yang retak.
Sebuah monolog hujan telah berhenti di atas genting,
tempias hilang ketika Juni menjadi ketabahan sebuah puisi.
-
(Saat itu Pak tua temukan ia di samping gerobak sampahnya yang lecet
ia terkulai dengan surat yang tergenggam; noda yang lebih hitam, tapi ia berucap)
“Aku ingin temukan diriku, Pak tua. Aku ingin bersihkan hitam diriku…”
“Cukup. Kau mencari bukan dirimu, kau tak bisa bersihkan dirimu.”, Pak tua itu menyahut.
-
Tapi aku tak mengerti nubuat, Pak tua,
aku tak mengerti sebuah pemurnian,
dari kezaliman yang lampau. Aku hanya millenial yang galau.
(Pak tua itu tak lagi menyahut. Kemudian sore datang. Dan ia temukan dirinya yang hilang)
-
Aku temukan diriku berkali-kali di tempat sampah. Di sekujur sungai,
di sebahu jalan, di sebuah gubuk, di media sosial, di gerobak sampah
milik seorang Pak tua, yang hanya mencaci keadaan tak pasti. Akhirnya aku lelah.
Tak berhasrat, dan mungkin…
Tak ada guna lagi.
-
3.
- O, nasib yang murung.
“Kau tak perlu katakan itu,” aku membantah.
- Coba kau cari langit. Coba kau tengadah.
“Untuk apa aku mengadu pada langit,”
(Ia seakan tengah berbincang dengan batinnya, yang dulu pernah putih, sekarang
jadi hitam. Dan ia ingin hitam itu hilang)
-
Tapi ini belum terlambat, aku meyakinkan akhirnya
pada sajadah dengan luka seorang musafir
dari ketakutan azab Malin Kundang, hingga
aku berdoa: Tuhan izinkan, aku bersih sekali lagi.
— Purbalingga, April 2020