Enam puisi gagal — tentang cinta & hal lain
Ini adalah puisi gagal lanjutan postingan sebelumnya. Yaitu puisi di antara 9 puisi yang gagal dimuat oleh media. Sial betul! But its ok, i think i should be learn to write again. again & again, but soon as possible. *mencobaBerdamaiDenganDiri
Kita hanya seorang
Kita hanya seorang
pelancong, yang mengunjung segala tempat
lalu berdiam –termenung, di tepi
ilusi, dan merekam adegan yang maya;
atau memotret sebuah lanskap
yang entah apa.
-
Kita hanya seorang
murid, yang rindu akan
bel pulang. “Jangan terlalu cepat memesan
kata pulang,” katamu, di depan kelas
kau jengkel. Tapi aku menyahut:
“Bukankah kita hanya murid,
yang takut tersesat?”
-
Atau jangan-jangan kita adalah pelancong
yang merangkap, jadi murid ?
-
Kita termenung, berdiam & entah mengapa, mungkin
hanya takut tersesat. Tapi benarkah kita
terlalu cepat, memesan kata
untuk sebuah pulang?
— Surakarta, 2020
-
-
Kuceritakan
Kuceritakan,
pesan untukmu:
Di sini ada yang bakal
lebih panjang dari sebuh kuku
manusia yang cedera karna rindu
seperti roh yang tak lagi menyentuh
tubuhnya, yang samar dan tak bersuara.
Rindu yang tak bisa lagi menggesekkan
kening, lidah dan penciumannya, juga
nafasnya. Ke seluruh tirai jendela;
ke gagang pintu rumah yang
terkunci, dan tak bisa
dimasuki angin.
Juga ingin.
— Surakarta, 2020
-
-
Di Beranda ini, angin menuntun kita
Di beranda ini,
angin tak sabar membuka kanvas:
“aku melukiskan waktu di situ,” katamu.
sedang aku tak mendengar dentum
dari bunyi kuas, tapi kau berdendang:
“aku menggoreskan sabar
dan duka dengan itu”.
-
Aku termenung, sedang
lukisan itu menuntun kita.
Kanvas kau pegang, tapi aku di sini
dibawa angin
yang mengecil jadi sepoi.
-
Aku menggengam waktu, perlahan
tapi kita terseret waktu.
Tanganku serasa kau genggam
udara kau himpit dalam wangimu
kau menunjuk jalan
aku mulai mengalir
dan mengalir
— meski kadang membelok —
aku menemui tempo
kita menemukan keindahan
dan terus mengalir
tetap mengalir
dalam ritmis lukisan,
dan tenggelam.
— Purbalingga, 2020
-
-
Aku ilalang berkabut
Aku tak carut-marut,
dalam terasing
sedang kau, meramai
dalam hiruk pikuk dunia.
-
Ilalang tak menyumpahi embun
yang datang-pergi
pun kabut: ia bersahaja dalam kemungkinan.
— Biar ku jadi ilalang, yang berkabut!
— Surakarta, 2020
-
Bahasa Sang Kekasih
kita di antara tirai
penghias kuil pada lampu-lampu
yang saling menyoroti kisah,
kasih bagai para pecinta.
-
matamu terbenam damai
seolah kuntum mawar
yang terkulai sebab desir
alunan minor pada biola.
-
yang ketika satu dawainya dipetik
ia membuatmu menggerayang di angkasa
yang ketika semua dawainya dipetik
ia membuatmu mengerti bahasa cinta.
-
kita bertatap muka,
mengalir senyum; menyapa meja makan;
meneguk cawan romansa pada malam:
mahligai tirai berkerumun menjumpai kita.
-
tirai tirai menutup dengan kata
menutupi segala bahasa
di sekililingnya ratusan kuntum mawar
mewangi; menyergak; namun layu
seperti cawan bekas anggur.
tatkala tirai itu tersingkap
di dalamnya ada rangkuman tafsir
terikat pada anak panah
yang kini melesat membawa
sehimpun: bahasa sang kekasih.
-
anak panah itu
menusuk,
menancap,
menanyai:
apa yang aku tafsirkan
— dari bahasa yang tak engkau ucapkan.
apa yang aku pahami
— dari bahasa seorang kekasih.
-
aku menengadah, mengecap & membisik:
bahasa itu bahasa diam,
bahasa tanpa kata kata
bahasa yang menafsirkan,
bahasa bahasa kesunyian.
— purbalingga, 2020
-
-
Barangkali rindu bisa kusemai
Aku menatap jauh,
pepohonan di situ merestui
tanah-tanah tandus tunduk, sedang
pupuk airmata tak pernah habis
tapi engkau bertanya:
Bolehkah aku memanen rindu?
— purbalingga, 2020