hari ke-16: nenek
(tulisan ini dibuat untuk tantangan 30DaysWritingChallenge, tahapan DAY 16: Someone I miss)
Nampaknya hari ini hampir mirip seperti hari-hari kemarin. Ndak jauh berbeda seperti yang kau tebak. Aku masih ajek di rumah. Aku Kuliah online. Aku gmeet sambil musikan. Aku muter playlist yang sama. Aku sesekali jaga toko. Aku ngerjain tugas sambil jaga toko. Aku twitteran dan ngoceh sendiri.
Aku ngecek WAG kelas ternyata kosong. Aku presensi OCW (oh, hari ini libur deng). Aku nontonin story WA temen banyak banget. Aku sesekali nge-chat siapa pun yang bisa dichat. Aku diread doang. Aku gak kaget juga. Aku balik ke rumah waktu ashar. Aku menyapu halaman belakang rumah. Aku mandi tapi ternyata mataku dan perasaan ini yang lebih basaarggh. Aku bercermin, oh masih ajek. Aku berpikir — maka aku ada — tapi ternyata aku malah kangen.
Entahlah. Sepertinya membosankan karantina ini. Aktifitas ajek. Pikiran melayang-layang. Dan tubuh masih ringkih buat ngeyakinin semua hari-hari itu bakal kelewat begitu saja.
Tapi mungkin betul kata orang-orang, dalam satu tahun yang buruk pasti ada bulan yang baik; dalam satu bulan yang buruk pasti ada minggu yang baik; dalam satu minggu yang buruk pasti ada hari-hari baik, dan seterus-seterusnya.
Kau tahu apa artinya itu? Hari ini hari jumat, dan kabar baiknya ini jadwal mengunjungi makam nenek, seperti biasa (kadang terlewat juga, sih). Meski sendirian. Tapi toh itu udah terbiasa, lagi-lagi kan.
Biasanya kalau ziarah ke kuburan berbulan-bulan lepas dengan ibuk, pasti bawa barang lengkap: bunga, air, buku tahlil, dan sapu. Tapi sekarang lain cerita: aku cuman bawa sapu. Dan tentu nyali lah, buat ke pekuburan sore-sore bada ashar sendirian, berundak-undak, dan luas pula. Meski cukup jalan kaki juga dari rumah.
Seperti yang kuceritakan barusan. Hari ini adalah hari baik. Sebab lain dari hari yang biasa dijabarkan oleh tokoh agama sebagai hari yang bersih; hari buat bersuci, ialah sebab bisa — dan lebih dianjurkan— mengirimkan doa secara khusus ke almarhum orang tercinta. Iya nenekku. Beliau sudah tiada semenjak tiga tahun terakhir. Aku masih menyimpan cerita itu.
Kala itu aku cukup terpukul, sebab di umur itulah aku baru pertama kali merasa kehilangan anggota keluarga. Saudara-saudara lain juga begitu. Anak-anak beliau (saudara-saudari ibuku) sudah barang tentu merasa kehilangan sebegitunya, sebab kali terakhir kehilangan mungkin sudah berpuluh tahun lepas, waktu ayah mereka mengalami hal serupa.
Tapi ya memang sudah begitu suratan takdir. Hari-hari tak lagi dapat melihat senyuman indah beliau. Hari lebaran tak lagi sama. Semua berpencar dan tak ada satu titik buat ditemui lagi.
Dan kebaikan serta kecintaannya merawat cucunya ini, sudah sepatutnya tak dilupa hingga kini. Bagaimana beliau mengantarku sewaktu masih Tk. Bagaimana beliau merelakan harinya yang sudah tua itu buat menjaga cucunya agar tidak dinakali kawan-kawannya. Bagaimana ia dengan sabar menahan amarahnya kala aku berbuat nakal dan tak patuh. Serta Bagaimana-bagaimana lain, yang tentu tak dapat disebutkan semua di sini.
Yaa, setidaknya itulah yang bisa membuatku seperti tengah melihat senyumnya seperti waktu itu; seperti kala membantunya membaringkan badan ketika lelah atau memijatinya. Meski sedang di kuburan; meski itu bayang-bayang belaka.
Nek, maafkan cucumu ini yang cuman bisa berkata-kata demikian, ya. Doakan…