hari ke-19: ia

Rafik NurF
3 min readOct 20, 2020

--

(tulisan ini dibuat untuk tantangan 30DaysWritingChallenge, tahapan DAY 19: My first love)

Photo by Vinit Vispute on Unsplash

Ingatan berlangsung pernah bertengger di mimpi seseorang untuk dua kalinya sepanjang tahun 2020. Pertama, ingatan itu hinggap dalam suasana yang dingin di sebuah perkebunan teh, dan melambai adalah fragmen terakhir yang diingat. Kedua, ingatan itu bahkan tiba-tiba datang saja tanpa mengetuk, malam tadi, kali ini berlatar cerita di pelataran rumah seseorang itu.

Betul, ‘ingatan itu’ adalah tentang ia; perempuan yang sedang kubicarakan. Dan ‘seseorang itu’ adalah aku. Kami berkawan dekat semenjak SD dan … memang mentok di SD saja, sih. Hahaha. Setelahnya kita seperti teman sebagaimana teman umum dan memang sudah seperti itu ceritanya.

Ketika SD ia adalah seorang periang, lucu, lincah, menyenangkan, ramah dan aktif di kelas. Ia dekat denganku sebagai kawan yang saling mengejar nilai (kalau jaman sekarang bilangnya, ambis). Katakanlah: ia yang kerap hadir membantu dan kubantu juga kala mengerjakan soal yang sama sekali ia/aku tidak paham. Ya begitu pula masa-masa mengerjakan PR. Di kelas bergurau ceria dengan kawan lain. Sepulang sekolah, kami pun pernah berkejaran bersama seolah ‘sangat dekat’ — tapi ya begitu.

Seingatku ketika kami lulus dari SD, 7/8 tahun lalu, tidak ada percakapan lain. Tak ada komunikasi. Paling banter cuman saling berteman di FB. Kontak telepon pun tak pernah saling save (aku ingat begitu). Ia melanjutkan ke SMP yang bertempat jauh dari SMP-ku. Sedang aku di SMP yang masih satu kecamatan dengan tempat tinggal kami. Tiga tahun itu aku mengingat kami tidak pernah bertemu atau bertegur sapa. Tapi ibunya dengan ibuku masih cukup mengobrol dan menceritakan anak-anaknya juga.

Antara kedua orangtua kami saling mengenal dan akrab. Ya sebab satu pekerjaan, sih; satu kampung pula; satu dusun pula. Aku pun mengingat, kakaknya dulu sekolah di SMK yang aku bersekolah di situ juga.

Tapi ia malah melanjutkan di MAN, sedangkan aku di SMK. Meski masih satu kota, tapi ya kami jarang bertemu juga. Pernah sesekali ia berjumpa denganku satu bus.

Dia duduk di depanku, dan ia melihatku pula. Dan saling menyapa dengan nama, itu pun hanya terdengar sekali, setelahnya hanya diam dan seolah duduk dengan orang asing. Bukan, bukan aku tak mau membuka percakapan lain. Tapi ya itu: ia terlihat tak begitu semangat atau kelewat biasa saja berjumpa denganku.

Kukira setelah lulus dari MAN, ia yang kuceritakan, bakal melanjutkan ke universitas atau institut agama islam atawa yang lain; sebagaimana kawan-kawannya begitu.

Tapi takdir menjemputnya buat bergumul ke orang-orang yang, boleh dikatakan, berorientasi ke akhirat. Ia menimba ilmu agama, entah itu di pesantren atau apa tapi intinya yang kudengar ia menjadi Hafidzoh & 30 Juz! Wah!

Meski sebelum itu, kudengar dari ibuk bahwa ia pergi menyusul kakak perempuannya di jawa barat, buat bekerja sebentar di sana. Tapi keputusan setelah itu, keputusan bahwa ia menyandang Hafidzoh 30 Juz belum lama ini, benar-benar membuatku kaget, kagum, bungah, seneng, syukur mendengar demikian dan tentu saja: semakin mengerti ‘jarak’. Sadar bahwa ia semakin mengalienasi ke lingkungannya dan mustahil bisa bercerita riang kembali denganku sekarang seperti cerita-cerita yang lalu.

Ternyata waktu kelewat getir, ya. Ingatan hanya sebatas dekat di masa SD tak mampu membuat kami akrab kembali.

Sebelumnya, sebenarnya aku ingin menuliskan tentang seseorang yang lain. Tapi tiba-tiba saja ia hadir di mimpiku malam tadi. Hashh. Lalu pagi ini malah ia berulang tahun & aku mengucapkannya. Hmm. Begini:

dm dari ignya tadi pagi. entah dibalas atau tidak.

Sebenarnya pula menuliskan ia tidak terlalu relevan ke tantangan tulisan kali ini, sih, tentang: my first love. Alih-alih menuliskan seseorang yang lebih tepat, aku lebih ngeh menuliskan yang sangat-sangat tidak mungkin membaca tulisan ini. Yang sangat-sangat mungkin sekali mengabaikan tulisan ini. Pesan saja mungkin bakal dipikir-pikir lagi kalau mau dibalas olehnya, apalagi tulisan. Nah, kan.

Eh tapi begini, kalau kau malah sudah kadung membaca dan merasa aneh saja dengan tulisan ini. Aku mengucap banyak-banyak maaf, ya, & sebagaimana cerita-cerita kita dahulu: lupakan saja.

(ohiya, terlambat satu hari ternyata. tentu kau tahulah mengapa: aku ketiduran lagi tadi malam).

--

--

Rafik NurF
Rafik NurF

Written by Rafik NurF

sedang menemui dan menemukan kejutan-kejutan dari Tuhan.

No responses yet