hari ke-23: untukmu
(tulisan ini dibuat untuk tantangan 30DaysWritingChallenge, tahapan DAY 23: A letter to someone, anyone)
“Umurmu memang berapa tahun? Kenapa kamu terlihat begitu ngotot sekali, sih, mengerjakan hal-hal macam ini? Untuk apa di umur sepertimu belajar demikian? Memang ini semua perlu ya di pelajaran jurusanmu? Kenapa masa SMK-mu tidak kau gunakan untuk sedikit bersenang-senang saja? Kenapa kau tak, maaf, mengejar cinta masa putih abu-abumu itu?”
Aku kadang terbayang ketika seseorang menghantarkanku sebuah surat, di rentang waktu 2015–2018. Surat yang berisikan kata-kata seperti di atas. Aku pernah mengkhayal bahwa, ketika seseorang telah menemukan mesin waktu kapan pun itu, seseorang mengirimiku sebuah surat penuh pertanyaan yang begitu abu-abu buat kujawab di tahun-tahun tersebut. Dan ketika itu, ketika di tahun lalu aku menerima suratnya, aku tak menyadar bahwa surat itu adalah dari diriku sendiri dari masa depan.
Duniaku terhenti sejenak setelah tahu seseorang itu — yang mengirimiku surat — adalah aku sendiri. Lantas bagaimanakah diriku ketika masih berumur 16/17 tahunan itu bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menurutku sendiri pasti tak masuk akal di umuran demikian.
Mungkin lebih lengkapya begini, surat yang nanti kutuliskan ketika suatu waktu seorang menciptakan mesin watu, dan aku bisa berkompromi dengannya. Lalu aku kirimkan ke diriku untuk tahun 2015–2018an. Seperti ini:
UNTUKMU
dari R.bojjes — anggap saja ini dirimu dari masa depan.
Halo? Apa ada kabar baik, hari ini, boeng? Masih naik bus buat ke sekolah? Hahaha, tak malu ya dengan anak-anak sebayamu? Kau ini sudah mendekati anak perempuan kok malah kau terlihat cuek dan ketus begitu? Dia itu menyukaim juga loh, apa kau tidak paham, hah? Ahiya baru ingat, dulu kau teringat sesumbar tak ingin berstatus lebih dengan kawan perempuanmu itu ya? Ya salah sendiri, sih. Hahaha
Halo? Apa ada kabar baik, di sekolahan hari ini? Masih dengan kodinganmu yang tak jelas itu? Masih suka mumet-mumet ya? Tapi tak apalah, itu berguna kok buatmu di masa depan, kau mau lihat dirimu menjadi software engineer seperti apa? Tapi tenang saja lah, nikmati saja prosesmu itu.
Halo? Masih adakah ruang buat kuberi kabar baik? Kabar baiknya kau mulai menyeberangi ilmu pengetahuan lain selain programming yang melelahkan itu. Ya, kau menyukai sastra, sejarah, sedikit politik, dan berkebun tentunya. Kau lebih berkutat lagi dengan dunia tulis-menulis. Aha! Hasilnya apa? kau pun bercita-cita memiliki pendamping hidup yang se-frekuensi pula denganmu? Tapi apa nasib tapi apa itu cerita-cerita cinta, sih, kan kau sudah… hmm- halo?
Halo, halo, halo… apa kamu perlu kabar baik lagi di sana, dari sini?
Mungkin itu saja yang bisa kutuliskan di sebuah surat, untuk seseorang; dalam hal apa pun. Dan aku pilih diri sendiri saja buat kutanyai; buat kutuliskan pesan-pesan sederhana. Sengaja aku tidak ingin menyampaikan surat ke kekasih, orangtua, saudara, keluarga, teman terdekat, atau siapa pun.
Tapi itu untuk apa? entahlah. Terkadang kau yang senang berdiskusi dengan diri sendiri; kadang kau yang sering bergumam sendiri, pasti ingin sekali tahu bagaimana responsmu di masa kecil.
Dari pertanyaan-pertanyaan yang kau buat di masa depan. Dari masa yang jauh. Untukmu sendiri, hanya untuk dirimu sendiri. Dan kau, yang di masa lalu itu, tak cukup pintar buat menjawab. Tapi tentu saja kau paham, meski jawaban itu terdengar konyol dan tak logis, kau tetap memaklumi itu.
Ya keadaan penuh mungkin itu laiknya sajak-sajak Goenawan Mohammad (Pada Sebuah Pantai) berikut ini:
“Kita memang bersandar pada apa yang mungkin kekal,
mungkin pula tak kekal.
Kita memang bersandar pada mungkin.
Kita bersandar pada angin
Dan tak pernah bertanya: untuk apa?
Tidak semua, memang, bisa ditanya untuk apa”
Benar, tidak semua, memang, bisa ditanya untuk apa.