hari ke-26: deru
(tulisan ini dibuat untuk tantangan 30DaysWritingChallenge, tahapan DAY 26: your school)
Derap langkah para siswa yang baru keluar kelas lamat-lamat habis ditelan hujan yang makin menderas. Di sekolahan itu, sehabis ashar, musim hujan begini memang sudah terbiasa sabar menantikan reda. Bahkan dengan santai, gurau bebrayan rekan terpelajar dari lantai atas pun jua terlaksana baik.
Jarum jam makin berputar santai, saat kami bolak-balik menatap dengan penuh gugup. Sebab dirasa khawatir: sore jadi habis tanpa ada pertanda akan reda. Tapi kami toh tetap tersenyum belaka. Dan lanjut bersenda gurau sembari sedikit menatap langit sore dengan semburat oranye yang dibubuhkan pelukis langit, seperti kata-kata penyair itulah.
Nyatanya hujan tak kian reda. Kami pun memutar otak dan bergilir jabat tangan serta senyum bersama kawan-kawan liyan sekelas; se-geng buat pulang ke kandang masing-masing. Sebagian ke rumah; ada yang ke kost dan ada yang ke pondok: tiada lain adalah itu saya.
Setidaknya fragmen itu yang kerap terbayang ketika berpikir masa putih abu-abu, dan waktu itu adalah masa SMK saya. Yang kadang terlintas sejenak kala berkunjung sebentar untuk keperluan (mengambil ijazah, misalnya) dan dengan sengaja memutari sekolah dari lantai 1 ke 3. Semua alumni tahu itu. Di lantai 2 tiap kami punya cerita menarik masing-masing.
Kawan-kawan atau senior tentu membuka ingatan itu dengan, misalnya, bisa duduk dengan kekasih masa SMK; bersenda gurau bersama, atau merasakan diusir oleh petugas karena terlalu sore menikmati langit dengan kekasih.
Ah, indahnya! Berbeda denganku yang kira-kira begini cerita paling menarik: saya dan seorang gadis (mantan gebetan) mengambil foto bersama beberapa kali setelah event sekolah. Tanpa bersyak wasangka, saya pun menanyakan hasil & kata dia ternyata ke-riset. Ah! Sial betul, bukan? Hash-dahlah.
Selain masa-masa penghujung: di tiga tahun terakhir, kala itu. Setidaknya saya juga mengingat bahwa di masa SMK saya tak pernah (seingatku) membawa kendaraan sendiri ke sana.
Akhirnya saya juga tersadar, saya tak perlu berontak dengan keadaan. Bahwa saya tidak diperijinkan membawa kendaraan sendiri buat pulang-pergi ke sekolah.
Ya, setidaknya itu membuatku tahu betapa indahnya melihat senyum orang tak dikenal; capek orang sehabis kerja; cucuran keringat petani atau pedagang yang sama berdesakkan untuk sampai ke tujuan masing-masing.
Dan deru angin dari luar jendela bus pun tak terelakkan. Ketika saat-saat itu, biasanya kupertimbangkan buat mengambil earphone memutar lagu-lagu syahdu. Atau barangkali sengaja melelapkan diri dengan berbantal tas di pangkuan.
Deru itu selalu mengingatkanku dengan masa-masa silam tak mengenakkan di masa sekolah SMK dahulu. Deru saat pulang-pergi di bus, di setengah perjalanan. Deru itu… aku cinta deru itu.