hari ke-30: titik

Rafik NurF
3 min readOct 30, 2020

--

(tulisan ini dibuat untuk tantangan 30DaysWritingChallenge, tahapan DAY 30: write about what do you feel when you write)

Photo by Dan Counsell on Unsplash

Tetibanya aku sampai di kota Solo, wajah sumringah terus mengalir dalam benak akan menjadi akademisi yang bisa menulis. Seperti halnya penulis-penulis yang aku idolakan sebelumnya: bermukim di kota yang literasinya terkenal subur. Baik Yogya maupun Sala, pilihan jatuh ke kota ini pun dirasa tak pernah salah bahkan makin cinta dengan keragaman di sini, salah satunya dalam bacaan dan menulis.

Sebelum kuliah memang aku sudah membaca. Bahkan aku mengingat pertama kali suka dengan buku (bukan pelajaran) sewaktu SMP — sayangnya itu tak berlangsung lama. Memasuki SMK, bacaan beralih ke bentuk tutorial/panduan praktis dalam dunia pemrogramman.

Setelah lulus, selama satu tahun bekerja, insight buku-buku liyan mulai beriringan masuk. Mulai dari teenlit (buku Fiersa Besari & Wira Negara, kala itu) sampai bukunya eyan Pram & karya sastra klasik Sufi. Dan itu pun kudapat dari media sosial toko buku online. Nyatanya, pengalaman membaca itulah yang membuat tekad kuat dan bakoh (baca: teguh) untuk berkuliah.

Memasuki masa kuliah, bahan bacaan kian bertambah dan mulai sedikit terpengaruhi oleh lingkungan. Organisasi pergerakan membuatku kian masif membaca Tan Malaka, Soekarno, Ideologi-ideologi dan lainnya. Selain itu, aku juga memulai mencintai puisi setelah membaca biografi Chairil Anwar (penyair modern kita) dan berlanjut ke petualangan berpuluh-puluh buku puisi yang kutamatkan.

Setelah membaca beragam buku — meski aku tak pernah menyatakan aku kutu buku — keinginan tulis-menulis yang dulu sudah kujalani pun bertambah pula. Dulu yang cuman menulis tutorial dunia IT; tulisan receh yang sekedar meluapkan perasaan sedih, bahagia; cerita teenlit di wattpad; atau pun lainnya. Kini beralih ke bentuk yang cukup “serius”. Misalnya, puisi, cerpen atau bahkan esai.

Dulu ingat betul, sewaktu prakerin (Praktik Kerja Industri) di SMK tahun 2017, menulis tutorial tentang dunia IT selama 3 bulan & jumlahnya 90an. Semua itu kujalani karena peraturan di tempat magang/PKL ku yang mewajibkan menuliskan dokumentasi pekerjaan selama 3 bulan tiap harinya di tempat itu. Dan hasilnya begini:

Beralih lagi ke karya yang sudah ditulis sekarang, justru aku malah makin “terlihat” menjauh dari tulisan berbau IT. Ya meski aku masih menulis di blog mediumku yang satunya di sini:

Aku lebih sreg & kian mengupgrade tulisanku justru di area Sastra. Seperti puisi dan cerpen. Memang sih, ini bukan tempat wahanaku bermain seharusnya . Tapi ya setidaknya beberapa karya tulisanku pernah masuk ke beberapa pers kampus (puisi), mendapat giveaway buku (cerpen), atau masuk nominasi naskah urutan ke-6 terbaik dari 1500an naskah yang dilombakan dan itu berupa puisi! Dan tentu juga aku paham ini masih baru di permukaan, bahkan belum sampai permukaan, barangkali.

Ya, setidaknya (lagi-lagi) membuatku ingin terus bersemangat menuliskan ide-ide/gagasanku di media apa pun. Sehingga aku acap kali bilang pada diri sendiri tentang keinginan — selain berkembang di dunia IT — bahwa diri ini perlu benar-benar belajar menulis, sebelum masa tua. Dan barangkali masa-masa kuliah kini adalah hal yang mungkin buat terus tumbuh. Bahwa tiada yang tidak mungkin — selagi kita terus coba.

Selain itu, aku pernah berujar juga ke beberapa orang bahwa ingin sekali berkontribusi di dunia literasi. Lebih rincinya sebuah karya; tulisan yang berbobot/setidaknya itu pantas.

Aku juga pernah berujar pada sahabat yang sudah kuanggap guru dalam hal spiritual. Bahwa aku ingin menulis yang lebih serius di koran, entah itu nanti cerpen, puisi, atau bahkan esai seperti lebih rinci kuterangkan ke beliau.

Dan ya, tentu kau paham. Ketika aku menulis, yang aku rasakan adalah titik. Seperti titik dalam paragraf. Bukan, bukan itu berarti menandakan adanya ‘akhir’. Melainkan tanda. Sebuah tanda untuk terus berjuang melanjutkan ke kata, paragraf, dan tulisan lain selanjutnya.

Barangkali menjadi narasi-narasi panjang dengan tanda koma bertebaran di mana-mana. Suatu saat titik, suatu saat berganti paragraf. Persis seperti puisi syahdu seseorang itu. Ya tentu saja di sini menghendaki titik itu bakal berganti menjadi paragraf — entah kapan, di mana, bagaimana… mungkin dengan doa.

Singkat kata, aku akan tetap terus menulis sampai titik itu bermakna pada: pemberhentian nafas, sampai terlepas.

Yeay! ini tulisan terakhir untuk #30DaysWritingChallenge-ku… terimakasih & wassalam untuk pembaca sekalian. Untuk yang sering kunjung ke tulisanku ini, jaga-jaga kesehatan di sana, ya. Jabat erat dari sini.

--

--

Rafik NurF
Rafik NurF

Written by Rafik NurF

sedang menemui dan menemukan kejutan-kejutan dari Tuhan.

No responses yet