hari ke-6: hahaha
(tulisan ini dibuat untuk tantangan 30DaysWritingChallenge, tahapan DAY 6: Single and Happy)
Hidup akan jauh lebih indah dengan bergelimang cinta. Sebagian orang lagi mungkin berpendapat: cukup-cukup sajalah dengan cinta. Kita selalu punya pandangan, perasaan, dan tafsir tersendiri perihal cinta. Bahkan cinta pula menurut saya bisa dibagi menjadi, misalnya, cinta pada makhluk; cinta pada lawan jenis; cinta pada orang-orang terdekat; hingga cinta pada Tuhan. Pada intinya, dengan cinta, harapan dengan hidup bakal terus tumbuh dan jalan beriringan.
Soal cinta itu saya pernah menuliskan sebuah puisi yang bagi saya sendiri paling bagus di antara yang pernah dibuat. Begini:
… Meski cinta mematangkan kehendak
dan dicintai adalah keberanian yang dilahirkan …
(Membaca Sejarah Air Mata, Arafik Nur F, 2020)
Puisi itu lahir bukan tanpa sebab. Tapi tentu saja tak perlulah buat menjelaskan. Bagi saya, puisi itu lahir pula dengan cinta di dalamnya. Cinta yang amat sangat memang bisa menjadi i’tikad; kehendak diri, dari seorang pecinta. Cinta seolah seperti waktu yang terus berjalan. Sementara i’tikad, atau kehendak itu seolah buah-buahan yang bisa matang; hasil daripada waktu yang tertumpuk. Dan keberanian yang dilahirkan; yang didapat, bak menjadi intisari atau kesimpulan jika kita (seorang pecinta) berhasil dicintai.
Perihal Cinta Kita Semua Pemula
Barangkali benar, seperti pada buku Ali Ma’ruf; sebagaimana yang juga pernah saya kutip pada tulisan terdahulu, Kita semua pemula perihal Cinta. Lantas, berpikir apakah (kita) juga berlaku dengan orang-orang di luar sana, orang yang dekat dengan saya, atau sesiapapun… tapi yang jelas berlaku betul buat diri saya sendiri. Tentu kali ini akan lebih tepat bila yang diperbincangkan cinta akan lawan jenis; cinta kepada makhluk. Semoga bisa naik satu tingkat lagi dari pemula. Bisa terus tafsir-menafsirkan, apa sih sebenarnya cinta itu(?)
Kita coba mengelabui ruang dan waktu dengan membayangkan: detik ini, kali ini kita tengah berada di suatu Sekolahan Menengah Pertama, kurun tahun 2012–2015 — sekitar lima atau delapan tahun ke belakang. Di situ kita bisa melihat, nasib seorang (pria) dengan wajah yang amat polos, lugu dan pemula sekali soal cinta. Dari ruang kelas yang jendelanya bercatkan coklat separuh lumayan gelap, sebab berdebu dan belum gilirannya dibersihkan oleh anak-anak pada jam piket hari ini.
Seperti biasa, seorang wanita dengan sendirinya mendatangi pria kecil itu dari jarak dua ruang kelas, masih pada tujuan yang sama, tanpa merasa rikuh, tanpa rasa bersalah. Ia langsung saja menanyakan kabar pria polos itu. Ia bertanya kabar ke teman sekelasnya. Namun hasilnya nihil, pria itu tak dilihatnya sebab tengah sembunyi dari kolong meja. Rupa-rupanya ia masih trauma sebab tingkahnya yang kurang mengenakkan — barangkali sebab ia bukan tipe pria itu. Hari berganti hari tapi masih saja ia bertekad sama (mungkin): ingin dekat dengan pria itu. Nyatanya pria itu lebih memilih mangkir, atau berkunjung ke perpus. atau sekadar ke wc gedung bawah atau ke kolong meja buat tidak didatanginya kembali.
Tentu ini bakal terdengar seperti cerita yang berlawanan dari realita dunia pada umumnya, kenyataannya memang yang diingat oleh pria kecil itu hingga sekarang, adalah demikian. Setelahnya tidak ada cerita yang menarik lagi, yang bisa kita dengar dari ruang imajinasi ini. Kalaupun ada hanya sebatas kisah klasik si pria kecil yang tumbuh dengan perasaan sewajarnya dengan wanita sebayanya. Pernah merasakan cinta monyet. Jatuh cinta dengan orang yang tak bisa dimiliki. Atau bahkan lebih memilih diam dan sibuk membuat ulah serta sedikit usil dengan kawan-kawan lainnya. Tiga tahun yang sepertinya tak berbekas soal cinta, selain cerita cinta yang buruk.
Kita mulai memejamkan mata dan seolah berpegangan pada mesin waktu buat berjingkrak ke kurun masa di depannya lagi: 2015–2018, di sebuah bus saat menuju keberangkatan Sekolah Menengah Kejuruan. Pagi itu masih belum pukul tujuh. Jalanan terlihat cukup lengang dari jendela yang terbuka separuh. Kita bisa menerka di situ ada satu orang lelaki dan perempuan yang bertujuan sama dengan ambil posisi duduk yang tidak berkejauhan. Kita menerka mereka juga memiliki kedekatan yang cukup sering berkomunikasi lewat chat (waktu itu masih dengan BBM). Tapi bus seakan sebentar lagi berhenti; sekolah mulai kelihatan. Dan si sopir cukup menghentikan laju busnya dan membiarkan penumpangnya turun satu per satu.
Bus terhenti dan penumpang bergantian turun. Namun, si perempuan mengambil jeda dan menjulurkan tangan ke tasnya, mengambil flashdisk untuk kemudian ia berikan ke lelaki itu. Tak ada ucapan di antara keduanya selain: Ya, Oke. Sembari sesekali melemparkan senyum. Meski diketahui hari-hari setelah flashdisknya dikembalikan, ternyata diselipkan — mungkin sebuah hadiah berupa — coklat silverqueen kecil.
Ternyata cerita manis itu tidak berjalan cukup panjang. Semuanya terhenti ketika salah satu dari mereka memilih enggan berkomunikasi kembali karena sebuah perihal — meski di antara keduanya tidak mengingingkan itu. Hari-hari dilalui seperti biasanya. Si lelaki memang cukup dekat dengan beberapa orang lagi setelahnya. Namun, kita bisa tebak: semuanya berujung sia-sia. Kita bisa menerka, lelaki itu memang cukup malang buat kembali dekat dengan perempuan. Untuk menyesap cinta atau sekadar tawa yang berseiringan terhadap dunia yang dilewati. Setidaknya ia tak pernah sulit menerima itu dengan berpikiran itu yang terbaik.
Kita lupakan ruang imajiner tadi dan berdayung, kemudian menepilah ke masa sekarang. Kita coba dengar lelaki yang bertambah dewasa tadi dengan cerita yang cukup baik. Lalu ada pa berita hari ini, anak muda? Ucap seorang kawan dari imajinasi yang kosong. Tak ada, jawabnya. Hanya kepingan-kepingan raut wajah perempuan yang kesekian lagi mengecewakan. Atau perihal rasa yang lalu-lalang tiada bertepi. Hahaha, biarlah semesta bekerja semestinya. Imbuhnya dengan tawa yang kecil sedikit mengosongkan tatapan matanya. Kembali tersedu, dan menepuk pundak kawan di sebelahnya. Lalu menjalani kehidupan seperti biasanya.
Nyatanya, cerita-cerita cinta itu hingga kini masih saja sama, tak pernah ada yang membaik. Hanya kekosongan dan lamunan. Baiklah, mari kita persepsikan lelaki itu tadi memang tengah sibuk dengan dunianya sendiri; manusia yang asyik dengan dirinya. Tapi apakah lelaki itu adalah saya? Oh tentu saja kita boleh berpikir demikian. Tapi boleh saja tidak. Yang lebih penting, ia tengah melewati kesunyian itu dengan berbekal prasangka baik kepada Tuhan.