hari ke-8: liris
(tulisan ini dibuat untuk tantangan 30DaysWritingChallenge, tahapan DAY 8: the power of music)
Lirik-lirik itu memang selalu saja menggangu di telinga kita. Ia bak cakar-cakar rajawali yang baru beranjak dewasa, tapi sigap untuk mencederai ingatan kita yang telah lama menjadi daging… begitu di depan lirik yang amat liris dan lengket di pikiran kita, daging yang tebal dengan mudahnya tercabik-cabik; kitapun dengan rela mengorek ingatan-ingatan itu.
Bisa saja ingatan itu tentang masa kecil kita. Masa remaja kita. Masa kita berbuat hal bodoh. Masa kita mengenal baik dunia. Saat kita tak perlu memikirkan dua kali menentukan keputusan; mungkin soal hidup, mimpi, kebahagiaan, atau bahkan mungkin cinta. Ingatan seperti buku yang telah lama kita baca dan anggap tuntas, tapi tiba-tiba saja ia menyuruh kita seperti anak kecil kembali. Menuntun kita buat mengejanya lagi, kata demi kata, frasa demi frasa, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf, lantas kesunyian demi kesunyian.
Kita pun sama mengamini: kita punya lagu-lagu tersendiri, lirik-lirik tersendiri yang membuat ingatan kita rela tercabik-cabik; membuat kita menjadi anak kecil lagi yang tak perlu menanyakan apa pun soal makna, soal kehidupan. Merenung dan menyusuri kesunyian dengan seksama tiap memutar lagu-lagu yang begitu emosional dalam arti singkatnya.
Sisir Tanah dan Lirik-liriknya yang Puitis.
Lagu-lagunya selalu sopan di telinga. Luapan emosi yang adem, baik dari lirik ataupun instrumen dengan nada-nada melodi serta unsur lain yang diciptakan mas Bagus Dwi Danto atau dikenal dengan proyek solo “Sisir Tanah” itu memang telah jadi ciri khasnya. Bahkan untuk lagu protes seperti berjudul konservasi konflik saja ia masih mampu menyelipkan ketenangan: lirik yang santun, kadang kekonyolan bak puisi mbeling tapi mengena.
Benar kata orang-orang memang, beliau telah puitis sejak dalam pikiran. Itu terbukti di dalam lagu-lagunya yang terhimpun di album: Woh. Kita tentu boleh saja berasumsi, bahwa beliau pasti punya latar belakang di dunia tulis-menulis, dan itu memang benar. Sebab dalam beberapa wawancara, beliau mengaku pernah menjadi salah satu anggota pers kampus semasa kuliah di Jogja. Ia masih kuliah di FISIP, salah satu UNIV kala itu. Yang kemudian beranjak ke ISI Jogja untuk (sepertinya) mengambil etnomusikologi atau jurusan linear soal per-musikan.
Mungkin gabungan dari dua disiplin ilmu itulah yang membawa Sisir Tanah membuat kita di sini terhenyak; seolah terbius, dan membawa ke ruang renung yang lagi dalam…bahkan untuk memutar satu judul lagu saja dan berulang-ulang.
Seperti penggalan lirik lagu pejalan berikut:
Bertahankah kita ini, manusia
Yang dalam riang, ringkih, rumit, dan terhimpit
Ada bahagia, tidak bahagia
Ada di sini ada di sana
Ditikam-tikam rasa…
(Lagu Pejalan— Sisir Tanah)
Jason Ranti dan Liriknya yang Sarkas tapi Religius
Banyak sekali lagu-lagu mas Jason ranti yang menjadi favorit. Seperti Bahaya Komunis, Kafir, 212, Sekilas Info yang terkenal sarkas, atau lagu pulang ke Rahim ibu yang dinilai religious. Akan tetapi, berikut adalah lagu dengan lirik yang paling emosional atau sekejap membuat rumah-rumah kecil di ingatan kita.
Barangkali hidup adalah doa yang panjang
Tapi oh sayang doanya mesti seragam
Karena tak dapat kuungkapkan kata yang paling cinta
Kupasrahkan saja di dalam dia
Aku tak ingin menangis
Menerka gerimis
Di sepanjang lorong itu
Aku tak ada nyali
Oh Pak Sapardi
…
(Lagunya Begini, Maksudnya Begitu — Jason Ranti)
Iksan Skuter dan Liriknya yang Perlawanan Sekaligus Sarat Pesan
Banyak orang menilai Iksan Skuter adalah satu dari musisi yang kerap kritis. Contohnya dalam lagu Partai Anjing, Kita Tak Makan Uang. Dll. Meski begitu, baiknya kita juga tahu bahwa banyak pula lagu-lagu beliau yang sarat akan pesan… seperti berikut:s
Ada manusia yang paling ingin aku peluk
Tapi aku malu
Tidak juga malu sebenarnya
Hanya angkuh sebagai lelaki dewasa
(Bapak — Iksan Skuter)
Banda Neira dan Liriknya yang Menyeluruh
Kita bisa saja memejamkan mata kala memutar lagu-lagu dari banda neira. Entah untuk sekadar menikmati masa kini yang sekadar dibalut instrumen dan suara yang teduh dari vokalis: Rara Sekar. Atau sengaja mengunjungi ingatan ‘itu’ yang selalu dan selalu hadir dalam bait-bait lirik lagu banda neira yang selalu menyeluruh.
Barangkali ini lirik dari sekian lirik lagu yang tak henti dan tak akan bosannya diputar.
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti
Yang hancur lebur akan terobati
Yang sia-sia akan jadi makna
Yang terus berulang suatu saat henti
Yang pernah jatuh ‘kan berdiri lagi
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti
Di mana ada musim yang menunggu?
(Yang Patah Tumbuh, yang Hilang Berganti — Banda Neira)
Tentu banyak sekali sebenarnya bicara soal musik dan kekuatannya dalam lirik/instrumennya. Tapi memfilter lagu-lagu yang selalu menemani ingatan kecil itu — seperti yang dikemukakan di atas — sekiranya sudah cukup buat menemukan arti: liris.
Setelah itu mari kita tutup dengan penggalan kata-kata yang demikian adem, dan (barangkali) kita aminkan bersama: “Semua musik yang mengajak kepada nilai-nilai luhur: kemanusiaan, perdamaian, ketulusan, cinta, kesetiaan, dan lain-lain itu termasuk musik yang baik. Musik yang menghibur dan membuat pendengarnya bahagia juga kebaikan.” — Habib Husen Ja’far.