hari ke-9: kunjung

Rafik NurF
5 min readOct 9, 2020

--

(tulisan ini dibuat untuk tantangan 30DaysWritingChallenge, tahapan DAY 9: Write about happiness)

Photo by Jack Anstey on Unsplash

Kota kian beringsut, dan jalanan lekas pudar dari tatap orang-orang yang sebentar lagi akan keluar dari stasiun. Pagi itu masih pukul lima. Wajarlah, aku menguap sering-sering dan sesekali menarik kembali selimut sebab dinginnya AC kereta yang perlahan menyentuh. Ini adalah kali kesekian perjalanan kereta yang cukup lama: Cilacap ke Jakarta. Kunjungan yang — meski melelahkan tapi — jadi cukup membahagiakan sebab keluar dari aktifitas yang itu-itu saja. Setidaknya bisa merasakan bekerja di tempat berbeda untuk beberapa waktu.

Hari terus saja berganti. Tidak dengan pekerjaan yang itu-itu lagi. Bug bertambah, solving problem tetap harus ada. Dan kunjungan ke kota-kota lain terus saja berjalan. Karena memang perintah dari bos, jadi kuikuti saja: selepas dari Jakarta langsung beranjak ke Bandung.

Waktu itu masih ada workshop, meeting dengan bertemu banyak orang. Aku yang masih berumur paling muda di antaranya hanya bisa tersenyum kecut, sesekali deg-degan waspada kalau-kalau tidak bisa laku yang terbaik di depan mereka. Untunglah itu semua terbayar. Malam dan hari-hari setelahnya cukup menikmati hari di kota kembang sana. Dari menikmati cimol di Braga (kalau tidak salah), sampai kunjung ke Museum KAA. Tiga buku seharga Rp. 60.000 yang didapat dari toko buku jalanan itu pun masih tersimpan baik hingga sekarang.

Kota berikutnya adalah Indramayu. Kami mengendarai mobil yang telah disewa dari bandung buat ke kota tersebut. Di sana kami tidak menginap lama. Tapi berkunjung ke kilang pertamina yang ada dekat pantai cukup membuat senang: bisa nikmati udara yang berhembus kencang. Sambil menikmati suguhan sate pinggir jalan khas kota sana.

Tanggal-tangal menggugurkan dirinya sendiri dalam kalender. Selang beberapa bulan setelahnya, selepas rutinitas bekerja di cilacap, tiba giliran kami buat berkunjung ke tujuan yang ditunggu-tunggu: papua. Aku masih ingat, bulan februari 2019 kami untuk pertama kali kunjung ke tanah papua. Dan untuk pertama kali pula — mungkin juga beberapa rekan yang lain — naik pesawat dengan rute yang cukup jauh. Dari bandara Soekarno-Hatta, Jakarta ke bandara Domine Eduard, Sorong Papua.

Di papua sana kami tidak sekadar berkunjung buat keperluan pekerjaan yang sudah bergulir di jadwal. Dua hari selesaikan tanggung jawab dengan pengalaman seru bisa langsung on the spot masuk ke pengolahan minyak pertamina kilang 7 kasim. Tentu saja buat mengamati langsung bagaimana aplikasi yang saya dan rekan-rekan lain buat itu digunakan oleh pegawai. Itu belum seberapa ketimbang melihat wajah-wajah menggembirakan kala bersama menjelaskan aplikasi ke pegawai-pegawai pertamina orang papua langsung, dan yak betul: mereka amat ramah dan jenaka pula.

Setelah diputuskan, ternyata bos mengijinkan kami buat berlibur barang satu hari satu malam di tempat yang amat terkenal di papua. Di mana lagi kalau bukan di Raja Ampat. Sayangnya kala itu lupa buat menyelesaikan dokumentasi tulisan bagaimana cerita kami berlibur gratis di Raja Ampat sana. Itu pengalaman pertama yang buat diri ini berkali-kali ingin berkelana lagi ke tempat-tempat menyenangkan di Indonesia.

ini nih, Raja Ampat

Tahun berganti. Aku dan berapa kawan lain memutuskan untuk putus kerja dan memilih kuliah di perguruan tinggi. Untunglah banyak kawan se-kantor yang juga respek. Aku menjatuhkan pilihan ke kota Sala; teman yang lain bertandang ke kota Surabaya untuk mengejar gelar S2-nya; ada juga yang ke Karawang. Seperti banyak dikisahkan, kota Surakarta ini kota yang sepertinya asyik buat menikmati segala riuh dunia kesenian, budaya, atau literasinya. Dan aku jatuh cinta dengan kota ini.

Kini tak ada lagi cerita berkunjung ke kota-kota keren seperti dua tahun silam masa bekerja. Kini buku-buku dan keheningan itu cukup; beragam wawasan dan lingkungan pertemanan yang baik serta supportive. Meski tak dapat ditolak pula, misalnya, ditawari teman buat melepas lelah berkunjung ke wisata-wisata keren di kota/sekitaran Sala ini.

Tempat dipilih pun tak jauh-jauh. Sebagaimana mahasiswa Solo pada umumnya, berkunjung ke Tawangmangu, Karanganyar; dan Telaga Sarangan, Magetan bisa jadi solusi yang tepat. Dan untunglah bisa ke sana sebelum pandemi mendera. Kurang sahih, kata temanku, kalau jadi mahasiswa di UNS / di kota Solo tapi belum pernah ke Tawangmangu. Hmm, aku cuman mengangguk saja.

Kurang afdol kalau menjadi mahasiswa tapi tak pernah ke perpus. Tapi sekiranya bukan sebab pernyataan itu yang membuat diriku ini tiap ada waktu/jam kosong dengan sengaja pergi ke perpus (kadang perpus pusat, kadang perpus cabang) sendirian — kadang juga sama teman lain, sih. Perpus sudah jadi tempat kunjung mengasyikkan kala teman-teman lain sibuk buat berhimpun atawa ikut kepanitiaan lain. Kadang pula di tepi danau, dengan sengaja duduk di bangku sekitarnya, cuman buat mendengar lagu-lagu, dan duduk-duduk santai sembari menikmati waktu sore yang berganti.

Kadang pula menghabiskan weekend buat CFD, di kota itu. Beberapa kali ke gladak buat membeli buku rekomendasian teman. Dan sekarang, tepat detik ini, sudah sekitar enam bulan lebih aku tak bisa menikmati suasana itu.

Kini, cerita berkunjung itu bukan lagi soal tempat. Di rumah ini, kukira rumah nenek terasa seperti perlu dikunjungi buat sekali sepekan. Apalagi beliau belum lama ditinggalkan kakek. Meski kerap lupa pula. Fyuh,

Kadang lagi, kalau sedang ada uang lebih, senang sekali berkunjung ke teman yang sekaligus guru spiritualku di pondok dulu pernah menimba ilmu bersama. Kalau sedang kesepian, dan benar merasa kesepian yang tak tertahan, biasanya juga berkujung ke rumah kawan-kawan yang sejak dulu akrab. Mengobrol banyak di sana; rasan-rasan atau sebagainya menertawai kejamnya kehidupan bersama.

Meski begitu, aku tetap berterimakasih pada kehidupan. Dengan rasa bahagia berkecukupan saat berkunjung ke tempat-tempat yang keren atau tidak keren juga, yang sesuai keadaan; sebagaimana di atas disebutkan. Dan kadang-kadang lagi, aku tak bisa membayangkan: bagaimana Tuhan memberikan anugerah, berupa rasa tak bosannya bahagia hanya sekadar berkunjung.

Yang itu jadi rutinitas membosankan sebenarnya. Tapi Tuhan selalu memberikan anugerah yang tak terkira-kira, bukan?

--

--

Rafik NurF

sedang menemui dan menemukan kejutan-kejutan dari Tuhan.