Lalu Lintas Kebahagiaan
“Tin-tin-tin-tin-ttiiiiiinn”, suara klakson kendaraan dari belakang terdengar riuh, pekik, begitu keras. Disertai dengan lampu hijau yang baru saja terlihat, —tepat setelah beberapa detik aku melamun—dari sudut pandang perantau yang matanya sedang berkaca-kaca. Sesegara mungkin aku mulai untuk menancap gas. Melanjutkan perjalananku menuju sebuah kontrakan kecil, di Surakarta sana. Tempat mengolah segala rasa, raga dan jiwa. Tempat terbaik untuk menutupi segala masalah yang aku tinggal dari kota asalku—purbalingga—yang begitu menginjak lepas dari sana, dahaga kenangan mulai kabur. Syukurlah. Aku berucap, dengan seksama.
Terngiang dengan jelas, pekat dan begitu membayang dari seutuh jiwa, juga segenap maupun seganjil rasa yang masih tersimpan, darimu kekasih masa lalu. Ah sial! Aku bergumam. Dengan segala niat, dan ambisi. Segala basmalah dan hamdalah aku berucap. Aku yakinkan, bahwa kali ini aku tak akan lagi mengingatmu dalam sebutan, atau sebuah mantra lain apapun yang bakal menciderai batin-batinku, kembali. Mungkin dengan men-senyapkan story WhatsApp-mu, menyembunyikan Instastories-mu, membalas segala pesan-pesan kecil penuh jebakanmu, dengan singkatnya. Atau bahkan, menghindarimu untuk berpapasan langsung. Sebegitu traumanya.
Sebelum mencoba hengkang dari keangkuhan dirimu. Yang syukurlah engkau lebih dulu menemukan pengganti. Engkau pernah berpesan : “Jaga dirimu baik-baik di Kota sana, ya. Jaga kesehatanmu,” Aku mengangguk. Aku hanya meng-iya kan begitu saja. Itu sudah jauh lebih baik ketimbang aku memaknai perkataanmu dengan prasangka lain. Sekadar pengingat, bahwa :
“Hati yang patah dari segenap cinta & pengorbanan yg pernah diberikan, takkan lagi sanggup menakar sama genapnya cinta yang akan diberikan nanti, sebelum rasa itu benar-benar dibunuh mati”.
Selang beberapa jam, setelah aku masuk ke perbatasan Surakarta. Hati ini penuh harap dan “wah”. Siap untuk menyambut segala yang ada di kota ini. Masyarakat yang ramah. Lingkungan yang masih bersih, udara yang segar dan tentu saja dengan berandai-andai : bakal dipertemukan oleh semesta dengan seseorang yang tak pernah aku bayang-bayangkan sebelumnya.
Barangkali ia berkaca mata, suka membaca buku. Pendengar yang baik, atau malah senang bercerita. Atau jangan-jangan, dia suka menulis; mengarang cerita-cerita pendek; membuat puisi atau sejenis prosa lainnya. Dengan jemari lentiknya, bahkan ia sering menulis di kanal blognya sendiri. Ah! Sungguh Keren. Meski itu mungkin bayang-bayang ku atau bayang-bayang kita semua sahaja. Sudahlah, biarkan kita bangun sejenak. Mari kita tarik napas dalam-dalam lagi.
Aku pernah berpikir, kebahagiaanku nanti seolah akan mengalir dengan sendirinya. Mengarah seperti apa yang aku bayang-bayangkan sebelumnya. Aku begitu berharap, ketika kepercayaan diriku terhadap seseorang yang saat itu diruntuhkan, akan ada sesosok pengganti yang jauh lebih baik, jauh lebih bisa dipercaya untuk menjadi sekadar teman hidup. Yang Tuhan anugerahkan semata-mata menjadi hadiah karena aku telah bersabar hati dan mau berteman sepi.
Tetapi, nyatanya itu bukanlah sebuah jawaban. Itu masih menjadi teka-teki hingga hari ini. Entah rencana apa yang lebih dulu Tuhan tentukan dalam lalu lintas kebahagiaan ini, aku masih termenung dan berbaik sangka. Memasrahkan nasib, menengadah pada kucuran air mata dalam doa.
Hari terus berlalu. Ada yang kian hadir datang, menjelma seperti sebuah keajaiban. Menelusuri benak dalam tanya, tepat di ujung kepala. Yang aku rasa, seolah-olah datang benar diutus oleh Tuhan, bagai sebuah petunjuk teka-teki, walau kemudian pada akhirnya tetap saja menepi. Meniadakan kabar, sampai lupa dulu pernah saling menjadi pencerita dan pendengar. Hingga kini, tak ada lagi bahan untuk bercerita dan tidak siap lagi untuk saling mendengar.
Sampai suatu ketika aku berhenti di suatu jalan penuh sesak, menghadap kiblat dari balik-balik tronton dan becak, menjejeri kernet bus yang keringatnya tak berhenti mengucur, memberi tahu bahwa hati ini kembali hancur.
Sejenak aku menurunkan ego mencoba menikmati pemandangan lampu merah, pada lalu lintas kota yang mendadak ramai, sore ini. Sungguh tak biasa. Seketika, setelah lampu merah tiada dan berganti menjadi kuning,lalu kemudia hijau. Seolah memberitahukan aku ada beberapa hubungan lalu lintas dengan kebahagiaan tiap orang.
Kebahagiaan dalam hidup ini seperti halnya lalu lintas : beberapa kali kita berhenti dari rasa bahagia, bukan untuk merasakan sedih seperti lainnnya. Melainkan turut menghargai kebahagiaan orang lain, yang terus melaju setelah lampu hijau di seberang jalan sana, tanpa perlu iri dan berusaha menyalipnya. Sebab kita punya jalur kebahagiaan dengan lalu lintas lanjut atau berhenti, sendiri-sendiri.
Persamaan kita adalah Mengharapkan bersama dunia akan baik-baik saja. Aku yakin semua orang pernah, dan barangkali sangat mengharapkan itu. Entah, entahlah dunia yang baik-baik saja itu seperti apa. Bahkan kau bisa membayangkan itu, seperti dunia yang terlihat santai, dunia yang berjalan lurus lagi mulus, mengalir seperti halnya arus, hasil yang terus sesuai dengan perjuangan. Dunia yang ahh! tak bisa engkau bayangkan —sebab terlampau indah— di hari-hari mu nanti setelah ini.
Tapi bagaimana, jika Tuhan menganugerahi Lalu lintas Kebahagiaan pada dunia mu yang engkau rasakan sekarang, itu sedang tidak baik-baik saja?