Tentang 2019 sejauh ini: menengadah yang riuh dan yang gersang

Rafik NurF
7 min readDec 31, 2019

--

Beberapa orang dari kita tentu saja —yang ingin setiap tahunnya ada sebuah progress—paham betul akan momen yang sakral: berupa pergantian sebuah tahun. Kita tentu saja ingin menyempatkan waktu untuk terus mengevaluasi hal apa saja yang sudah kita lakukan & hal apa saja yang sudah terealisasi tahun ini. Maupun hal-hal tidak terduga yang unik lainnya.

Dalam masa-masa tidak tenang ketika sudah berumur—katakanlah umur 18 tahun— hal-ihwal tentang apapun menjadi begitu jelas dikhawatirkan. Khawatir yang mungkin berujung baik, atau malah justru berbias menemukan sebuah nafas baru bagi perjalanan. Tentu khawatir itu tidak jauh dari hal remeh temeh seperti jodoh yang tentu kita ilhami sudah diatur baik oleh Gusti.

Khawatir baik itu yang mungkin saya ejawentahkan sebagai upaya bersyukur, ketika menjadi akademisi di kota Solo yang romantis ini. Tentu saya banyak berterimakasih pada diri sendiri, yang sudah berhasil meyakinkan, juga menguatkan. Berkuliah di kota yang sungguh sangat beragam.

Meski khawatir itu, hingga kini belum sempat memetik ujungnya. Ujung dari buah harap besar pada sosok yang aku sebut puisi. Khawatir itu membias pada nafas baru perjalanan, yang kini menjadi perhelatan besar baik rasa maupun karsa. Membuat bingung yang tak serta merta. Berlarian memboyong segala hal yang mungkin. Atau bahkan membawa hal yang sukar diucapkan. Betapa merasakan riuh dan gersang setelah masa-masa menengadah yang tak suci berbulan-bulan lalu.

Seperti banyak hal yang sudah ku instastory sebelumnya, mencuitkan keluh kesah di twitter, blog maupun medium lainnya. Mendokumentasi hal-hal yang mengasyikan ataupun unik, tentu tidaklah menjadi hal repot untuk kita mafhumi & kita laksanakan bersama sebagai generasi millennial. Tulisan ini barangkali menjadi sebuah rangkuman singkat hal apa saja yang terjadi pada diri saya setahun belakangan.

Mengunjungi raja ampat

Pada bulan januari, saya beserta rekan kerja mendapati hadiah kecil dari Tuhan. Yaitu diberi kesempatan secara cuma-cuma oleh Bos untuk berlanjut mengelilingi tanah surga Papua: raja ampat. Setelah menahan lelah mengikuti workshop sebagai pemandu, juga ikut ke lapangan (kilang) untuk mempraktekan penggunaan aplikasi yang saya develop untuk pertamina. Alhasil, lelah dalam tiga hari itu pun terbayar lunas, sebab diajak liburan gratis selama satu hari mengelilingi tempat seperti: piaynemo, pantai panama dan tentu saja saya ikut snorkeling meski masih amatiran.

Merasakan sunyi dalam pulang-pergi dengan kereta

rekan kerja debat saya: andrianto (programmer)

Setelah mendapat proyekan yang cukup besar, semasa saya bekerja. Apalagi klien yang dihadapi juga bertempatkan di ibu kota. Tentunya, mau tidak mau tim kami pun sering berkunjung ke sana. Melakukan meeting, membahas fitur-bug-fitur baru-bug baru-bug lama serta hal menyebalkan lainnya. Tetapi di sisi lain, ada keuntungan juga bagi saya: travelling gratis. Dan dalam bepergian itu pun tak jarang saya berkendera dengan kereta, eksekutif pula. Waktu itu, saya merasakan untuk naik kereta pertama kali dan merasakan kesunyian — yang begitu tenang— juga untuk pertama kali. Dalam kesunyian dan keheningan dalam kereta pun turut saya resapi dengan menuliskan puisi; membaca buku; atau sekadar mendengarkan musik yang syahdu.

Menipiskan ego dalam sebuah tim

suatu rutinitas pagi di nocola office dengan om sulis yang begitu bersahaja

Bekerja adalah sesuatu dari hal lain yang turut saya syukuri sebagai wadah untuk melatih diri agar terus menjadi lebih baik sebelumnya. Mungkin, diberi anugerah lebih dahulu merasakan ketidakenakan dalam bekerja, kenyamanan dalam bekerja, hingga kebosanan yang begitu hingga ingin segera resign adalah salah satu perihal yang Gusti ingin kasih tahu. Pesan tersirat untuk pendewasaan. Seperti mengikis ego satu demi satu. Meski tertatih dalam menjalankannya, sebuah kerja tim yang banyak memberikan saya ilmu kehidupan satu tahun belakangan. Dari idealisme, perfeksionisme, dan kemalasan pada saat membuat fitur baru membuat saya sadar kerap kali hal seperti itu harus segera dihindari. Sebab kerja tim akan sinkron satu sama lain jika setiap anggotanya bersedia menipiskan ego mereka masing-masing.

Menemukan diri yang sendiri
Belakangan, saya acap kali tertawa dalam lamunan ketika sendiri. Sebab, tengah teringat masa lalu betapa diri ini menginginkan posisinya sekarang hanya karena takut terus saja "sendiri". Mungkin ini sedikit naif. Tapi toh sering beranjaknya waktu, diri ini mulai kembali terbuka untuk terus menerima apapun yang Gusti kehendaki. Termasuk menemukan dirinya ini yang tengah sendiri. Tak sesemangat dahulu ketika terus mencari dan mencari. Barangkali kini tengah memasuki masa lebih baik menghadapi diri sendiri terlebih dulu. Banyak hal carut marut yang perlu dibenahi.

Menggondrong kemudian menggundul
Hal terkeren di masa remaja yang begitu mainstream salah satunya adalah nemiliki rambut gondrong. Begitu pula yang saya lakukan pada tahun 2018. Mungkin umur saya yang pada saat itu masih menginjak 17 tahun, memutuskan untuk mulai menggondrong itu terinspirasi dari sosok Bung Fiersa Besari. Lebih dari itu, menggondrong menjadi sesuatu hal yang sulit untuk dijelaskan. Bagaimana rasanya, bagaimana merawatnya atau memang haruskah lelaki itu gondrong agar dibilang keren. Jawabannya adalah ketika anda menggondrong sendiri. Begitu yang saya lakukan untuk turut mencicipi bagaimana suka dukanya. Hingga mulai pertengahan tahun 2019—kira-kira panjangnya menyentuh pundak— ketika sedang gondrong-gondrongnya, saya malah membuat keputusan untuk melepaskan kegondrongan ini — karena sebuah alasan. Menggundul menjadi sebuah terapi untuk mencoba hal-hal baru, seperti lebih pede tampil di depan umum; bersikap bodo amat; atau sedikit menghemat pengeluaran shampoo. Hmm.

Menjadi mahasiswa Solo & segala keunikan di dalamnya

sewaktu ldk ptik’19 dan menyenangkan

Hal yang turut serta membentuk diri ini maju hingga sekarang: tidak lepas dari awal mula saya berkuliah. Pertanda awal yang membentuk saya mencintai hal apapun: khususnya pernak-pernik menjadi seorang mahasiswa.

Menjadi mahasiswa yang sekaligus bertempat tinggal di Solo — berarti harus meninggalkan tempat tinggal yang cukup jauh— semakin membuat saya merasa begitu diberi banyak berkah oleh Gusti. Dengan begini saya menjadi manusia yang lebih peduli lagi dengan komunikasi, tentunya dengan orang tua. Solo dengan segala keunikan di dalamnya; jebres, manahan, pabelan, semanggi, kartasura serta daerah lain yang ada di Surakarta. Memiliki keunikan sendiri. Hingar-bingar, segala dinamika, politik kampus, organisasi dari tiap ideologi, bagi tiap mahasiswa membuat pandangan terhadap berbagai atmosfer perbedaan ini menjadi begitu kaya. Menjadi sedikit lebih berhati-hati, untuk saya melangkah dalam berbagai organisasi kampus.

Meniupi angin cinta pada buku
Salah satu alasan kenapa saya memutuskan tahun ini kuliah, adalah karena ketertarikan saya terhadap buku. Perpustakaan barangkali menjadi tempat seperti surga bagi kawan-kawan yang suka membaca buku. Atau sekadar melelah penat dengan menyendiri. Perpustakaan kampus, cukup menyediakan buku-buku yang yang begitu menarik bagi saya. Awal tahun 2019 menjadi lebih hidup untuk kesekian kalinya, setelah saya membaca beberapa buku. Mungkin awal-awal ini saya tidak begitu getol membaca buku —juga untuk akhir tahun sekarang— kurang lebih 10 buku. Beberapa buku tersebut diisi dari berbagai genre —meski dominan sastra— seperti pergerakan, ideologi, biografi, novel, maupun lainnya. Tahun ini cukup menjadi awal saya dalam meniupi angin cinta pada buku.

Menulis-menulis-menulis dan terus menulis
Pada awal saya masuk kuliah, mungkin ini menjadi titik awal perjalanan saya dalam dunia literasi. Mulai tertarik akan tulis-menulis. Setidaknya saya sudah mencoba untuk mempublish ke berbagai media. Meski masih terbata-bata, bahkan ditolak media sekalipun. Dan satu kali saja dimuat oleh persma kampus. Kalau ditotal mungkin ada sekitar lima lebih tulisan saya ditolak oleh media. Sangat tidak mungkin jika saya ingin menjadi penulis, baru ditolak lima kali kemudian saya malah mengurungkan niat. Justru itu yang menjadi sebuah triggered bagi saya untuk terus menulis dan menulis. Bagi saya menulis jelek itu perlu, sebab tulisan bagus pun berasal dari tulisan jelek yang terus menerus diasah. Bagi seorang pemula seperti saya.

Merasakan kehampaan ketika membuat program
Sepertinya tahun ini pun tidak lepas dari struggle-struggle lainnya. Bagi saya ini adalah tahun sulit untuk fokus membuat program. Surut akan ngoding. Entahlah, fokus saya kadang cukup kurang terbagi. Meski berita-berita terbaru akan teknologi di medium pun sering saya baca. Namun praktek untuk tahun ini sangat nol besar. Semoga tahun depan bisa dibenahi lagi.

Menyesali menulis draft yang tak jarang
Saya pernah bertanya kepada penulis senior yang sudah menerbitkan kedua buku. Bahkan, dia adalah kakak tingkat saya di kampus — lima tahun selisihnya barangkali. Ketika saya ditanya masalah tentang menulis pun saya langsung menjawab: “Seringkali jadinya draft terus, ): ”. Tak jarang, ketika saya memulai menulis entah itu puisi atau cerpen, akhirnya berujung pada kumpulan draft. Dia pun merespon balik: “Ya begitulah jalan seorang penulis,”. Saya pun mulai tersadar. Tahun depan harus bisa menyelesaikan draft tulisan-tulisan terdahulu. Berdoa untuk terhindar kebiasaan buruk itu.

Tak lebih segala kebaikan maupun keburukan yang ada pada kita semua, sudah seharusnya kita ilhami sebagai pembelajaran kita. Untuk terus maju. Untuk menjadi versi terbaik dari kita. Untuk tetap bergerak dalam masa-masa apapun. Untuk tetap terus menengadah yang riuh dan juga yang gersang. Tabik. Selamat menikmati tahun baru!

--

--

Rafik NurF
Rafik NurF

Written by Rafik NurF

sedang menemui dan menemukan kejutan-kejutan dari Tuhan.

No responses yet