Terbang Merendah
20 tahun; tepatnya duapuluh tahun lebih duapuluh hari terlewat semenjak waktu di malam aku menangis pertama kali sebagai penduduk bumi. semuanya lekas berlalu seperti sebuah mimpi. tak terkecuali juga tahun-tahun riang alakadarnya kala beranjak umur 17-an dulu, dulu sekali. sedangkan tahun sekarang? ada semacam kesepakatan bersama tak resmi — yang mungkin semua orang mengamininya — : masa kini jadi tahun pandemi yang tak tentu & serba tak mudah.
apalagi menginjak kepala dua di masa-masa demikian. seakan halnya seekor burung yang sengaja terbang merendah & pasrah ikut ke mana angin menuntun sebab tengah meliuk-liuk menukik lewati pusaran taufan pandemi. jika mengingat konvensi ketika bertambah umur, (atau bahkan berkurangnya umur?) semua seakan teriak: bagaimana reolusi & pencapaian. tapi maaf, kawan, betul bisa dipastikan aku tak berani memasang hal-hal materiil yang perlu dicapai banyak tahun ini.
singkatnya, aku lebih mengalir & seperti halnya burung yang terbang merendah untuk lepas dari konvensi-konvensi di pusaran masyarakat mainstream kita. selintas dalam doa-doa seadanya: semoga orang-orang terkasih & tersayang terjaga kesehatan fisik dan mental. selintas harapan di umur 20 ini: tahun-tahun pandemi segera lekas. begitu saja. saya kira tak ada ambisi yang berlebih.
perihal tahun-tahun riang ketika aku berumur sweet seventeen itu bisa kuceritakan dengan dipersingkat seperti ini:
10 Januari 2018. Ya 17! aku baru berumur 17 tahun ketika itu. hari itu aku mengingat ada di masa-masa menjelang tahun kelulusanku di smk. kebetulan aku masih tinggal di pondok pesantren. setelah tinggal beberapa bulan menetap di sana, akhirnya aku betul merasakan manisnya dari yang namanya menuntut ilmu agama. tentu saja ilmuku belum seberapa, tapi aku bersyukur.
aku sangat bersyukur atas apa yang menjadi kejutan Tuhan kala itu, hingga kini, detik ini. aku masih merasa bahwa masuk ke pondok pesantren itu menjadi babak baru diriku mengenal lebih dekat apa itu syariat, hakikat & ilmu keagamaan. aku berkali-kali seperti ditempeleng ketika aku hidup membaur di kalangan santri — meskipun hanya satu tahun.
dari situ aku betul tumbuh menjadi murid (bisa dibilang santri) yang sangat memegang prinsip bahwa ridho guru adalah yang utama. maksudku begini: aku akan menghormati guruku (siapa pun) & akan terus berusaha menjalin komunikasi yang baik dengannya.
selepas lulus smk, aku juga memutuskan lepas dari pondok. dalihku ingin bekerja & nyatanya tak lama kemudian — meski berselang di beberapa bulan — aku diterima di sebuah perusahaan stratup di cilacap. babak baru mengenal lebih diriku juga mulai terlatih di situ.
10 Januari 2019. Aku berumur 18! ya, aku rasa ketika berumur 18 aku tengah merasakan masa labil-labilnya, emosi yang bergejolak, & hasrat ingin merdeka, laiknya remaja baru beranjak gede. memang, kala itu aku sudah beberapa bulan di kerjaan. dan aku merasa di situ benar-benar tumbuh berkembang: mengerti diri, lingkungan, dan banyak hal. kalaupun aku perlu menceritakannya, aku rasa aku telah lengkap ceritakan di artikel medium bertajuk: 2019 tentang menengadah. cari saja!
sampai 10 januari 2020. ya, satu tahun kemarin! baiklah. aku rasa di umurku, katakanlah 19–20, itu ialah peralihanku mengurangi kebiasaan ngoding & mulai menulis sastra. ya walaupun ecek-ecek. dan bagaimana pemrogramman? yang jelas aku tak akan meninggalkan (sebisa mungkin) dunia pemrogramman. karena di situ aku pertama kali tumbuh. sementara sastra? aku masih begitu awam & ah, aku rasa masih sangat-sangat bisa berdampingan dengan pemrogramman (meskipun aku sangat sukar menyeimbangkan).
dan ketemulah pr besarku di umur sekarang: bagaimana mempersatukan dua sisi kehidupanku itu sehingga tak perlu ada salah satupun yang aku lepaskan? antara sastra & teknologi. sepertinya aku tak akan bisa mengerti jika aku terlalu terbang meninggi; justru sebaliknya, aku akan mengerti jika aku bersedia, sungguh bersedia untuk terbang merendah. semoga saja.
sebetulnya tulisan ini dimaksudkan terbit tepat tanggal lahirku 10 januari kemarin. ndilalah, aku emoh & sungkan mengikuti pola konvensi ketika seorang berulang tahun, katakanlah ia merayakan hari ultahnya mempublish sesuatu di media sosial. tentu saja itu hal wajar saja & tak ada larangan sama sekali. tapi menurutku justru perayaan ulang tahun ini lebih baik dirayakan betul dengan diri sendiri — ya, hanya diri sendiri.
hari itu kau benar-benar menepi dari media sosial. tak ada update status wa, feed ig, tweet atau blog tulisan, barangkali. & kau tak perlu membuat teman-teman media sosialmu tahu lahir di tanggal sekian. terkecuali untuk orang-orang terkasih, sahabat, saudara & keluarga sendiri.
*(terinspirasi oleh seseorang yang bisa dikatakan membuatku menjadi menilik kembali makna perayaan ulang tahun, terima kasih).
puisi untuk menyambut umur 20:
Perihal Umurku yang Terus Berkurang
Burung tersandung udara
yang kotor. meringkuk di helai dedaunan
pohon kelapa, tiba-tiba
memberitahukan lelucon:
siapakah kamu
di hadapan alam semesta?