Tiba-tiba Saja Aku Rindu Keheningan di Kereta
— dari stasiun pasar senen-purwokerto
Hari-hari cepat berlalu. Aku masih tetap di sini. Aku masih
tetap. Menggenggam dengan kekosongan, di sini. Aku melihat
langit, dan wuss, ada sekelibat ilham lewat (mungkin ingatan
tentang sebuah perjalanan).
—
Aku masih menyusuri jalan menuju kampus. Tetap dengan
gamang, jari-jari yang memilih untuk tak melihat dunia,
semrawutnya dunia. Aku di sini. Hening, tentang ingatan itu,
dan lagi. terdiam, sekejap. Tiba-tiba saja aku rindu
keheningan di kereta.
—
Dan masih terdiam. Kucari lampu kuno dalam sajak “Langkah
sumbang: Haidari”, tapi tak ada. Namun aku bertemu jalan kereta
dalam sajak “Aku kereta api duka: Qabbani”. Meski tak kutemukan
juga 1000 kereta dalam puisi “Z: G.M” –mungkin ia tak ingin
menjemput pada batas.
—
Satu tahun lalu, begitu menyenangkan tanpa memikirkan
kemungkinan-kemungkinan. Rupa orang-orang dalam gerbong
sama sekali tak menarik; semuanya gelisah, tertidur, menyibukkan.
Kecuali nenek itu. Aku sama sekali menghiraukannya.
—
Dari perjalanan itu, mungkin, titik kulminasi dalam
merenung. Melihat saksama tentang hidup. Diriku dalam
diriku. Tentang buku-buku yang menemani keheningan,
di kereta. Puisi-puisi yang tertulis begitu remang. Dan hanya
kegelisah batin yang payah: tentang cinta, kegagalan dan
ketidakmampuan.
—
Tiba-tiba saja aku rindu keheningan di kereta. Di kereta, malam
perjalanan, hanya ada suara dengkur orang-orang lelah. Kaca jendela
yang melukiskan keindahan lampu-lampu sepanjang
rel. Namun suara gesekan itu. Aku masih ingat betul. Bisikan dingin
ac & bantal yang empuk. Maaf, malam dan lanskap kota di luar,
aku tertidur.
— Purbalingga, 2020