Tiba-tiba Saja Aku Rindu Keheningan di Kereta

Rafik NurF
2 min readMar 11, 2020

--

Photo by Antonio DiCaterina on Unsplash

— dari stasiun pasar senen-purwokerto

Hari-hari cepat berlalu. Aku masih tetap di sini. Aku masih

tetap. Menggenggam dengan kekosongan, di sini. Aku melihat

langit, dan wuss, ada sekelibat ilham lewat (mungkin ingatan

tentang sebuah perjalanan).

Aku masih menyusuri jalan menuju kampus. Tetap dengan

gamang, jari-jari yang memilih untuk tak melihat dunia,

semrawutnya dunia. Aku di sini. Hening, tentang ingatan itu,

dan lagi. terdiam, sekejap. Tiba-tiba saja aku rindu

keheningan di kereta.

Dan masih terdiam. Kucari lampu kuno dalam sajak “Langkah

sumbang: Haidari”, tapi tak ada. Namun aku bertemu jalan kereta

dalam sajak “Aku kereta api duka: Qabbani”. Meski tak kutemukan

juga 1000 kereta dalam puisi “Z: G.M” –mungkin ia tak ingin

menjemput pada batas.

Satu tahun lalu, begitu menyenangkan tanpa memikirkan

kemungkinan-kemungkinan. Rupa orang-orang dalam gerbong

sama sekali tak menarik; semuanya gelisah, tertidur, menyibukkan.

Kecuali nenek itu. Aku sama sekali menghiraukannya.

Dari perjalanan itu, mungkin, titik kulminasi dalam

merenung. Melihat saksama tentang hidup. Diriku dalam

diriku. Tentang buku-buku yang menemani keheningan,

di kereta. Puisi-puisi yang tertulis begitu remang. Dan hanya

kegelisah batin yang payah: tentang cinta, kegagalan dan

ketidakmampuan.

Tiba-tiba saja aku rindu keheningan di kereta. Di kereta, malam

perjalanan, hanya ada suara dengkur orang-orang lelah. Kaca jendela

yang melukiskan keindahan lampu-lampu sepanjang

rel. Namun suara gesekan itu. Aku masih ingat betul. Bisikan dingin

ac & bantal yang empuk. Maaf, malam dan lanskap kota di luar,

aku tertidur.

— Purbalingga, 2020

--

--

Rafik NurF
Rafik NurF

Written by Rafik NurF

sedang menemui dan menemukan kejutan-kejutan dari Tuhan.

No responses yet