tiga puisi yang gagal aku sampaikan padamu
Seumpama Diam
suara suara dalam elegi tak luput
sesudahnya kamu senandungkan
jejak jejak ruang hatimu yang
barangkali sedemikian kosong.
Kamu bilang tetaplah di sini. Seperti
menjadi penghibur di kala senggangmu,
Pendongeng bermacam-macam buku, dan
pendengar kisah haru biru mu.
lalu biarkan saja aku di emperan,
di depan keset selamat datang
di bukit bukit ujung penghempasan
di batas angin yang tak sempat
mengetuk gerbang rumahmu:
sebab aku telah diam.
(Purbalingga, 2020)
Kau jadi ombak
aku tak menuntut buah cinta
yang kusemai dari ujung laut
pun engkau yang tak rusuh
bergejolak membawa arus.
berkerumun satu dalam pasang
membawa benih yang kutebar
namun laut menghantarkan
hamparan tiap tiap
ombak yang berpusar
dari alam pikiranmu
jala jala dilontarkan
menangkapi kemafhuman
sudut sudut dari nisbah
dalam engkau yang begitu tenang.
mengailkan gejolak cinta
pada diriku bagai seorang nelayan
menelantarkanku ke pulau juga pulau
yang diiringi ombak ombak bergejolak.
cukup engkau menjadi ombak:
menggulung pada ketenangan
engkau menjadi ombak:
berpusar pengetahuan
menjadi ombak,
yang selalu dalam kecintaan.
(purbalingga, 2020)
Dalam Kebisingan
sungguh malang:
bertahun menghadapi peradaban
kau dihujani pelbagai kegiatan
aku dihujani bacaan
bertahun menelantarkan waktu
kau hidup pada organisasi
aku menghidupi puisi
bertahun menelan jarak
kau ada dengan teman sejalan
aku meniada dengan sendirian
bertahun menyisipkan doa
kau menimang segala syariat
aku berdarah dengan maksiat
bertahun meneduh ke kerumunan
menyepi dan menepi sendiri,
dan kita tak lepas dalam
kebisingan.
(Purbalingga, 2020)