Yang Kita Bicarakan ketika Mahasiswa Membicarakan Pengabdian
Hari itu sorak-sorai terus saja bersahutan di depan halaman rektorat sebuah universitas x di Surakarta. Gelar itu tersemat dari pundak sampai menyentuh pinggang, dan toga terpasang di atas kepala dengan rapi. Menjadi bukti bahwa tiap mahasiswa telah mengemban tanggung jawab besar, Tri Dharma Perguruan Tinggi: Pengajaran, Penelitian & Pengabdian Masyarakat.
Suasana haru belum saja usai. Tapi, kenyataannya mereka harus segera memikirkan tanggung jawab itu. Dimana mereka yang menjadi bagian kalangan akademisi, di sini diwujudkan dalam pengajaran & penelitian. Tentu juga yang merupakan bagian dari anggota masyarakat, juga diwujudkan dalam bentuk pengabdian. Dari sini, dapat ditelisik bersama tentang “Apa yang kita bicarakan ketika mahasiswa membicarakan pengabdian”.
Beberapa dari mereka mungkin telah menjalankan dua Dharma pengajaran dan penelitian. Dari pengajaran misalnya, kita bisa melihat mahasiswa dalam peranannya di pelbagai ruang diskusi intelektualitas: seperti organisasi, seminar-seminar, program mengajar, dlsb. Untuk penelitian juga kita patut senang. Dari proses kreatif mahasiswa, mereka telah banyak merumuskan pemikirannya di pelbagai karya tulis ilmiah, makalah, atau jurnal-jurnal penelitian penting lainnya yang banyak tersiar di ruang khalayak.
Tapi kemudian, lantas bagaimana nasib Dharma selanjutnya berupa “Pengabdian Masyarakat”? Memang –jika mahasiswa ingin sedikit berdalih, ada program berupa KKN yang ditujukan untuk proses pengabdian mahasiswa dari pihak kampus. Tapi apakah cukup saja sampai di situ? Apakah memang tiap mahasiswa yang ber-KKN juga telah ikut andil bersama dalam pengabdiannya? Tentu kita tidak bisa berkata tidak bahwa program KKN, bagaimana pun, sangat jarang yang sampai menyentuh pada pengabdian masyarakat.
Permasalahannya, mereka yang kerap kali membuat beragam wacana misalnya, begitu yakin dan menggebu ketika diskusi. Akan tetapi, pada praktiknya mereka justru kewalahan. Kadangkala juga wacana mereka seolah begitu asing di telinga masyarakat. Hasilnya ya, begitu berbeda dengan realitas di lapangan; minim akan kebermanfaatan. Lantas di manakah letak pengabdiannya?
-
Sejarah Pengabdian Mahasiswa
Seorang sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, pernah menyatakan: “Sejarah Indonesia adalah sejarah pemudanya,” Senada dengan itu, Presiden pertama kita, IR Soekarno pernah menyatakan juga hakikat kaum pemuda, “Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Kita kaget, banyak tokoh kita yang mengelu-elukan kaum pemuda, lantas mengapa demikian?
Ketika kita misalnya membaca rentetan sejarah perjuangan bangsa, mulai dari zaman kita melawan penjajah, sampai –seperti yang dituturkan oleh Bung Karno– melawan bangsa kita sendiri. Tentu tidak mungkin kita tidak melihat peran pemuda di sana. Tidaklah mungkin pula kita tidak melihat nafas perjuangan dengan beragam kisah heroik; di luar nalar, akan tetapi tetap diperjuangkan pada jalan idealismenya. Sebab itulah, pemuda kerap kali disandang sebagai roda penggerak. Yang mana di setiap zamannya memiki peranannya sendiri.
Sama halnya pada pengabdian. Kisah heroik yang kerap tercatat pada sejarah perjuangan, juga dapat kita lihat bersama pada sejarah pengabdian. Terutama di sini adalah kaum pemuda –yang mana diwakilkan oleh mahasiswa, kala itu.
Sebagai contoh misalnya, kita meloncat agak jauh ke tahun 1964. Pada sebuah program semacam KKN dan kala itu disebut dengan “Program Tenaga Mahasiswa”. Mohamad Kasim Arifin, seorang Mahasiswa IPB, dikirim oleh pihak Fakultasnya untuk mengabdi di Waimitila, Pulau Seram. Dan pada kesempatan lain, beliau baru diwisuda pada tahun 1979, atau lebih tepatnya di umur beliau yang ke-41.
Telat diwisuda –yang bahkan bertahun-tahun, bukanlah tanpa sebab. Ternyata setelah 15 tahun mengabdi pada masyarakat setempat di sana, Kasim begitu terlibat dengan beragam urusan pertanian dan ternak di sana. Alhasil beliau lupa untuk pulang dan lupa segera menyelesaikan skripsinya. Meski begitu, berkat ketulusannya dalam mengabdi, beliau mendapat penghormatan yang setimpal dari masyarakat setempat dan warga kampusnya.
Sepercik kisah Kasim itu hanyalah contoh. Tentu masih banyak kisah heroik nan menarik lainnya dari kalangan mahasiswa ketika mengabdi –dahulu. Bangsa kita memiliki sejarah gemilang pemuda –yang dengan ini kita sebut mahasiswa– dalam hal pengabdian. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah kesadaran mengabdi dengan tulus, benar-benar bisa kita lihat sampai pada generasi sekarang? Mengingat globalisasi dan hedonisme yang turut mendegradasi moral mahasiswa. Meskipun sekiranya ada, toh sudah jarang sekali ditemukan.
-
Formalitas Pengabdian
Di kampus, sering terdengar sebutan formalitas. Beragam formalitas dapat dijumpai dalam pelbagai ruang diskusi. Seperti di ruang kelas; organisasi; kepanitiaan; seminar; program KKN, dll. Bahkan sebelum itu, ketika para mahasiswa baru dikenalkan lingkungan kampus oleh kakak seniornya, yang dikenal “OSPEK”. Formalitas itu hadir seolah menjadi sebuah tradisi kampus yang amat langgeng.
Jika di sini kita mengerucut pada formalitas pengabdian, atau yang lebih dekat dengan program mahasiswa: KKN. Maka bisa ditebak, ada formalitas di sana & tidak dipungkiri juga, mereka yang terjun ke masyarakat langsung, acap kali masih mendewakan formalitas di tengah masyarakat –meski masyarakat itu tak butuh– dan mereka kerap lupa akan masalah struktural.
Kita ambil contoh misalnya, terkait pertanian. Ketika mahasiswa ingin mengajak masyarakat petani untuk beralih dari pupuk kimia ke organik, maka tidak serta-merta mengandalkan formalitas. Dalam artian bahwa hanya menjelesakan teori, alasan, atau manfaatnya kepada petani. Akan tetapi mereka tak melebur, menjadi bagian masyarakat itu untuk mendengar keluh-kesah mereka. Alhasil, mahasiswa hanya memenangkan ego-nya berupa teori di atas kertas, dan melupa untuk melihat kenyataan yang ada. Para petani tentu akan lebih tertarik pada mahasiswa yang telah membuahkan hasil nyata berupa produk, bukan hanya sekadar berteorika dengan toeri di muka umum. Realitasnya di lapangan, toh begitu.
-
Yang Tak Pernah Selesai
Maka daripadanya, pengabdian untuk masyarakat merupakan pekerjaan dan tanggung jawab mahasiswa yang tak pernah selesai. Sama halnya dengan perjuangan. Dan untuk itu dalam pengabdian juga ada –seperti ungkapan Rendra– pelaksanaan kata-kata. Pengabdian pada masyarakat harus ada agar pelbagai ketimpangan, atau bahkan kesenjangan bisa teratasi segera. Sehingga manfaat kolektif untuk masyarakat bisa menembus waktu yang lebih panjang.
Pada akhirnya kita dapat pahami bersama, ketika mahasiswa membicarakan pengabdian, tentu banyak sekali definisinya menurut mereka. Mahasiswa boleh saja menunda apa yang mereka lanjutkan setelah lulus. Tapi di dalam hatinya; pikirannya, haruslah tertanam akan bagaimana ia nanti mengamalkan ilmunya pada masyarakat. Bagaimana ia mewujudkan pengabdian nyata, meski dari hal-hal kecil sekalipun. Sehingga hari esok akan lebih cerah untuk bangsa Indonesia. Oleh kaum pemuda, dan mahasiswa dalam artian sempitnya.
Beberapa notes:
- Judul esai terinspirasi dari judul cerpen: What We Talk About When We Talk About Love, karya dewa cerpenis Amerika, Raymond Carver
- Esai ini ditulis untuk project kepenulisan PMII Komisariat kentingan tahun 2020 dengan mengambil sub tema: Mahasiswa & Tanggung Jawab Sosial
- Saran/Kritik bisa dikirimkan ke email berikut: arafiknurf@gmail.com